jodoh nu saha? nu Nani

IMG_4973Saya punya teman seperjuangan, namanya Nani Nurhasanah. Untuk menghubungi dia, rasanya sulit sekali, harus menanti waktu petang, ketika nani datang ke sebuah tebing. Tebing sinyal namanya, sebuah tebing harapan Nani untuk menyapa dunia. Karena hanya disanalah sinyal nya berada, sinyal satu bar. Berbeda dengan Nani, desa saya kaya akan sinyal, mau di depan rumah, halaman sekolah, tepi pantai, belakang wc, dalam sumur, sampai blusukkan ke kolong meja pun pasti ketemu sinyal.

Saya dan Nani tinggal di desa yang berbeda, kalau naik motor jaraknya satu setengah jam perjalanan melewati 5 dusun lain, hutan-hutan, sungai dan sabana.

Siang ini di sekolah mendung, enggan rasanya untuk pulang ke rumah, di kelas, saya sendirian bermain dengan laptop. Dengan kuasa Allah tangan ini bergerak membuka sebuah folder foto dalam laptop saya. Folder itu berisi foto-foto saya dan Nani, saat kami ada di Bandung.Tiba-tiba rasa rindu menyeruak dalam dada, iseng, saya ambil hp, saya ketik sms bernada: “kangen nani”, saya kirimkan sms itu ke nomor-nya, walau saya tau sms itu akan sampai entah kapan.

Namun tiba-tiba, jeng jreeeng….sebuah sms report mengabarkan bahwa sms telah sampai di sebrang, di tempatnya nani!. wooow…kaget saya dibuatnya, jarang-jarang hal ini bisa terjadi. Langsung saya telpon nomor nomor yang bersangkutan, apa yang terjadi??

yap..dia memang ada disana. di tebing sinyal sedang menanti kabar. Akhirnya kita mengobrol panjang lebar, melepas rindu. Cerita tentang sekolah masing-masing. Ternyata disana juga sedang mendung, nani menelpon sambil memakai payung, hehe…terdengar pantulan air hujan dari payungnya.

Hahaha siang ini memang agak aneh buat saya tapi tak ada yang namanya sebuah kebetulan, semua ada sebab dan akibatnya, ada Allah yang mengatur, cepat atau lambat…insyaAllah kalau memang jodoh gakan kemana :D. Ya nan? :p.

Labuan Kananga, malam terang bulan, dan deburan ombak yang besar.

Tekadku Dulu, Kini dan (mungkin) Nanti

Duduk santai sambil menyilangkan kaki di atas kursi kayu meja guru. Haaaaah begitu nikmatnya. Diluar kelas hujan turun begitu derasnya, ya..saking derasnya sang hujan, berhasil menahan saya di sekolah ini, sekolah yang sudah bersamaku selama 10 bulan ini. Aku belum bisa pulang kerumah orang tua angkat ku. Anak-anak kubiarkan bermain bersama kertas dan pewarna yang kubawa dari rumah. Aku berusaha menikmati waktuku berdua bersama laptopku, tak pernah terpikirkan dalam hidupku aku ada disini. Disini bersama anak-anak suku sasak, yang tinggal di kaki gunung Tambora, di sebuah dusun bernama Doro Le’de.

Sewaktu kecil aku punya cita-cita jadi seorang arsitek, ingin bangun masjid agung terbesar se-Asia Tenggara di kota kelahiranku, Bandung. Cita-cita itu tetap ada di dalam dada hingga aku beranjak besar dan bersekolah di SMA. Saat itu semuanya berputar, masa depanku di depan mata. Singkat cerita keinginan untuk membangun masjid agung harus tertunda, aku bilang tertunda karena mungkin suatu saat akan tercapai, saat ini aku sedang menjadi guru di salah satu SD di kabupaten Bima, tepatnya di pesisir pantai desa Labuan Kananga. Orang-orang bilang SD ini SD terpencil, karena jaraknya yang jauh dari kota, namun kini bagiku terpencil adalah ladang ber-potensi sumber daya luar biasa kaya yang belum tergali, belum ada usaha eksplorasi di dalamnya, eksplorasi bukan eksploitasi. SD ku ini teretak di kecamatan Tambora, kecamatan Tambora memiliki jutaan hektar sabana, ribuan hektar ladang subur dan ratusan spesies tumbuhan dan binatang yang hidup didalamnya. Pertama kali menjejakkan kaki disini dan melihat indahnya Tambora, aku hanya bisa berucap Indonesia sangatlah kaya, luar biasa kaya, kata siapa Indonesia miskin.

Kembali pada meja kerjaku, aku kini adalah seorang guru. Tugasku kini adalah mengajarkan mereka semua tentang dunia dan yang paling utama adalah mendidik anak-anakku untuk menjadi anak yang berkarakter baik, woooow Continue reading “Tekadku Dulu, Kini dan (mungkin) Nanti”