Alqi dan Taufik

 

Alqi dan Taufiq dua sejoli murid bapak Budi.

Mereka selalu bertengkar.
Mereka selalu berebut banyak hal.

Mereka tidak mau kalah satu sama lain.

Mereka anak yang cerdas.

Mereka pandai memanjat pohon.

Mereka adalah anak murid nya pak Budi.

Dan mereka sayang sekali dengan pak Budi.

Ahmat Yani

Ahmat Yani namanya…

Pertama kali berkenalan dengannya, dan mendengar namanya respon ku hanya satu: “wah nama nya seperti nama pahlawan, berarti kamu akan hebat seperti beiau!”

Empat bulan berlau setelah perkenalan pertama dan benar saja dugaanku Ahmat Yani yang akrab dipanggil Mat, memang anak yang hebat dan cerdas. Kekaguman saya akan Mat, bermula dari pancaran matanya yang seolah-olah memgatakan: “saya ingin tahu banyak hal, ajari saya agar bisa pintar”. Hahahah rada sotoy saya emang, berasa cenayang tak bersertifikat resmi, tapi entah mengapa setiap melihat matanya yang bulat besar itu, saya meihat masa depan yang luar biasa kedepannya. InsyaAllah…

Suatu saat dia pernah berkata pada saya: “Bu, kapan kita bisa pintar, kalau guru-guru tidak ada yang mau mengajar”. Yap, miris memang, kelas Mat, merupakan keas jauh dari SD tempat saya mengajar saat ini. Kelas jauh ini terletak di lembah gunung Tambora, tepatnya di dusun Doro Le’de, Desa Labuan Kananga. Dusun ini terletak jauh dari pusat desa, sekitar  45 menit perjalanan menuju dusun tersebut. Jalan yang menanjak serta kondisi medan yang sulit, dimana tanahnya berupa pasir, membuat orang-orang yang tidak memiliki kepentingan bahkan guru pun enggan naik ke kelas jauh.

Namun, apapun yang terjadi, Mat beserta ke-16 teman lainnya yang berada di kelas jauh, tak pernah putus asa, mereka masih mau sekolah, mereka haus akan ilmu dan pengetahuan.

Mat dan teman-temannya di kelas jauh merupakan anak keturunan Lombok, meskipun mereka tinggal di tanah Bima, namun kekentalan budaya Lombok masih sangat terasa di dusun Doro Le’de. Mat pandai mengaji, Mat juga sering menjadi menjadi Imam dikala sholat berjamaah di mushola sederhana di dusun mereka. Mat anak yang gigih, ketika dia tidak bisa mengerjakan soal matematika yang saya berikan, maka dia akan berkata “Bu saya ndak bisa”, saya pun akan menjelaskan ulang untuknya, namun ketika di jelaskan lebih rinci lagi, kegigihan serta ketepatan Mat dalam menjawab soal-berikutnya begitu luar biasa. Mat juga anak yang jujur, setiap kai saya berikan soal Bahasa Inggris, dengan terus terang dia mengerjakannya tanpa melihat buku catatannya, meskipun 100 persen dia punya kesempatan untuk meihat catatan tersebut. Lucu nya lagi, saya sebagai gurunya selalu merasa tertantang ketika mengajari Mat, apapun yang saya jelaskan dia “habiskan” dengan lahap, setiap kali saya lupa memberikan PR saat pulang sekolah, Mat-lah yang maju ke meja saya sembari membawa buku nya dan memohon meminta PR pada saya.

Mat memang anak yang cerdas, baginya belajar adalah kesenangan, dan Matematika adalah santapan utama Mat.

Kisah tentang Mat tidak berhenti sampai disitu, hal seru lagi yang patut diketahui adalah besar perjuangannya untuk mencapai sekolah. Rumah Mat dengan sekolah kemungkinan berjarak hampir 7 km lebih, rumahnya yang terletak di atas gunung membuat Mat harus pergi setiap hari dengan menggunakan kendaraan bermotor. Bersama Ari temannya Mat pergi sekolah di bonceng empat bersama adik-adik Ari. Jangan pernah bayangkan motor seperti Harley Davidson, motor yang ditumpangi Mat hanyala motor bebek biasa, dengan kondisi tak berlampu, tak ber STNK dan juga tak ber-bodi, hingga bagian mesinnya dapat terlihat dari luar. Setiap berangkat dan pulang sekolah Mat ikut bersama Ari, jika tidak maka dia harus berjalan sejauh 7 km. Dulu sebelum Mat dan keluarganay pindah ke rumahnya yang saat ini ditinggali, Mat tinggal di sebuah pemukiman di bawah sejkolah, jaraknya sekitar 5 km dari sekolah, namun saat ini Mat dan keluarganya berpindah tempat tinggal, dikarenakan kebun ayahnya berada di atas sehingga Mat dan keluarganya harus pindah rumah.

Yap begitulah Ahmat Yani, seorang murid cerdas dari dusun Doro Le;de, yang tidak pantang menyerah untuk persi sekolah, dan tidak pernah putus asa ketika berkeinginan. Mat punya cita-cita suatu saat kelak dia ingin menjadi guru. Sebuah tujuan yang begitu mulia.

Mari kita doakan, anak-anak di dusun Doro Le;de, khususnya Mat, dapat menjadi anak yang cerdas, sholeh dan cinta damai.

Semangat Ahmat Yani menuntut ilmu disekolah, semakin mengobarkan semangat juang saya untuk terus berkarya dan memperbaiki diri sebagai guru muda di Tambora.

Don’t be galau!!!

Karena di atas galau ada galau,

Di atas penderitaan ada penderitaan lagi,

Jangan patah semangat bu Guru pak Guru, karena harapan itu masih ada.

Labuan Kananga, 9 Oktober 2012

edisi kangen Doro Le;de

do it or regret it!!!

bangun pagi-pagi dari dinginnya malam di Labuan Kananga kadang membuat hati galau…panggilan ayam jantan yang bersahut sahutan dari luar rumah benar-benar membuat hati pilu, rasanya ingin manggang tu ayam…hahaha…becanda.

Kegalauan ini diiringi rasa kekhawatiran akan kondisi sekolah…tiap pagi selalu saja banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam otak:

“Berapa guru yang masuk hari ini ya?”

“Kalau guru PNS itu tak datang lagi, berarti saya harus gantikan kelasnya lagi”

“Sekoah pasti kotor sekali hari ini, karena kemarin hujan besar, pasti banyak tai kambing berserakan di lantai sekolah”

“Nanti pasti ada anak-anak yang bertengkar karena berebut jambu.”

“Berhasilkah metode yang saya berikan dalam mengajar hari ini?”

Wuaaah pokoknya banyak banget bisikan-bisikan setan memekakkan telinga di pagi hari, semua kekhawatiran tersebut selalu membuat langkah ini ragu untuk terus berjalan. Ingin rasanya berhenti sejenak, tapi kehormatan ini tak mengenal kata istirahat. Saya yang punya sifat mudah bosan dengan sebuah kondisi benar-benar diuji besar-besaran disini, rasanya ingin kabur ke gunung dan nyebur kelaut, tapi dorongan tersebut tertahan oleh sesuatu yang dinamakan tanggung jawab. Jalan ini adalah jalan pilihan saya, tak pernah ada satupun orang yang memaksa untuk saya berada disini, dan Allah lah yang menuntun saya menuju arah ini, entah apa rencana Allah, tapi yang pasti ini untuk kebaikan saya dan yang pasti saya harapkan ini juga menjadi kebaikan bagi banyak orang.

Kegalauan itu memang selalu muncul di pagi hari, entah mengapa saya tidak mengerti. Namun anehnya ada sebuah keajaiban saat saya berjalan menuju sekolah, bertemu dengan anak-anak yang siap berangkat sekolah dengan tas-tas kecilnya, kuncir rambut nya yang masih basah karena baru mandi, juga senyum di wajahnya lalu dari kejauahan dengan suara cemprengnya mereka memanggi ibu gurunya : “Ibu Moriiiin”…haaaa….rasanya lega…mereka masih semangat sekolah, mereka mau belajar, kenapa saya harus sedih?, kenapa saya harus berhenti?. Makin semangat ketika melihat guru-guru sukarela yang datang pagi dan siap mengajar…walau kadang mereka datang dengan bambu panjang di tangan kirinya, membuat mereka selalu berkuasa atas anak-anak. heuheu…

Apapun yang terjadi, apapun yang saya hadapi di sekolah hari ini, otak saya berputar kencang, saya hanya punya waktu satu tahun disini, tidak kurang dan insyaAllah tidak lebih…waktu pendek tersebut yang mendorong saya untuk terus berjuang, DO IT OR REGRET IT!!!! …kesempatan belum tentu datang dua kali, karena sesal selalu datang di akhir.

Didukung dengan suntikan dan Bismillah…insyaAllah galau di pagi hari akan luntur pelan-pelan…oyah satu lagi ada sebuah doa mujarab ketika kita ingin menuntut ilmu, doa ini selalu dibaca setiap pagi oleh murid-murid saya, tapi hingga kini saya percaya bahwa guru pun harus membaca doa ini:

Robbi zidni ‘ilma warzuqni fahma…
(Ya Allah tambahkanlah ilmu kepadaku, dan berilah aku pemahaman yang baik)…

Do’a ini bukan hanya untuk siswa yang siap belajar, tapi juga buat guru yang siap belajar…yap guru tidak hanya mengemban tugas untuk mengajar, tapi juga harus belajar kehidupan dari anak-anak muridnya…

do it or regret it

jadi sebuah senjata tersendiri bagi saya untuk terus bergerak…

MERDEKA!!!!!

tiba-tiba inget satu baris lirik dari lagunya counting crows – big yellow taxi

“Don’t it always seem to go
That you don’t know what you’ve got
Til its gone”

Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi, sesal setelah semua berlalu…

keep on moving..SEMANGAAAAAAAAAT!!!!

Labuan Kananga, 8 Oktober 2012

Pulang dari les anak-anak SMP

KAPANCA MBOJO

“Malam-malam baiko yo mama

Malam Bainai yo sayang

Anak Daro jo Marakpulai”

Pernah dengar lagu di atas? bagi urang awak alias orang Minang lagi ini tidaklah asing lagi. Ini adalah sebuah lagu yang menceritakan tentang prosesi adat pernikahan Sumatera Barat, Malam Bainai. Bainai yang berarti ber-inai. Inai sejenis pewarna kuku dan badan yang terbuat dari daun pacar. Pada malam ini sang calon mempelai wanita diberi inai di tangannya oleh beberapa keluarga terdekat dan orang penting dari kaum wanita. This is ladies night!. Harinya wanita-wanita beraksi. Hahahha….

Itulah Malam Bainai yang saya ketahui..daaan…jauh di daerah tengah Indonesia sini…saya menemukan tradisi yang serupa dengan malam bainai.

KAPANCA

Sebuah tradisi adat Bima (Mbojo), yang merupakan rangkaian dari prosesi adat perkawinan di malam hari, khusus untuk calon mempelai wanita. Calon mempelai wanita duduk manis di tengah pelaminan, dan satu persatu ibu-ibu datang memberikan kapanca di tangannya. Panca adalah daun pacar, kapanca berarti berpacar, atau diberikan daun pacar. Hahaha…

Malam tadi, merupakan malam istimewa bagi salah seorang rekan mengajar saya di desa, seorang guru muda berdedikasi tinggi kepada sekolah, Yuni Lastrianti. Alhamdulillah Yuni sudah melangsungkan pernikahannya semalam. Yuni menikah dengan Sukardin, seorang pujaan hatinya yang sudah lama dia kenal dari desa Labuan Kananga. Mereka menikah di Dompu, sebuah Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat, berdekatan dengan Kabupaten Bima.

Kalau diperhatikan lebih juga setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang disini, ditemukan bahwa budaya tradisi ini merupakan perpaduan antara budaya Islam dan budaya Hindu. Dimana pada saat pelaksanaanya prosesi ini diiringi oleh shawalat kepada Rasullah, sangat syahdu sekai, sampai-sampai membuat sang calon mempelai wanita menangis. Prosesi kapanca ini mirip sekali dengan traidisi budaya Hindu saat memberikan tanda di tangan pada acara pernikahan.

Menarik sekali bisa dapat kesempatan melihat langsung budaya Kapanca ini, khususnya yang menikah adaah rekan kerja saya sendiri. Lihat betapa cantiknya Yuni saat prosesi kapanca.

air manis untuk si manis doro le’de

pagi di doro le’de

pagi ini seperti biasa…ku awali dengan ritual minum air manis yang tidak lain dan tidak bukan adalah segelas kopi panas. Entah mengapa orang disini bilang kopi sebagai air manis, namun pada kenyataannya memang kopi disini tidak ada yang pahit, manis semua. hahaha…mungkin kebiasaan warga disini yang suka yang manis-manis, itulah sebabnya saya bisa ada disini (maksud loh? basi dah) hahaha…

Yap, pagi ini aku ingin sedikit bermalas-malasan, selain karena ndek ara ai (tidak ada air) dalam arti kata lain, saya tidak akan mandi hari ini, juga karena suasana pagi yang memanjakan kulit, untuk berleha-leha sejenak di pendopo gubuk kecil ku. Gubuk yang menjadi tempat bermalamku ini merupakan gubuk panggung yang terbuat dari kayu, atapnya terbuat dari daun-daun kering, itulah mengapa gubuk ini akan menjadi sangat dingin ketika pagi hari. Dinginnya pagi ini membuat pikiran ku melayang, sambil melihat halaman depan rumah yang dipenuhi dengan pohon dan kayu, saya tiba-tiba berpikir. Suasana yang kurasakan saat ini mungkin tidak akan aku dapatkan tahun depan di bulan yang sama, mungkin aku akan sangat merindukan saat-saat seperti ini nanti ketika aku sudah pulang nanti. haaaaa…..rasanya pilu di hati. Pilu karena tiba-tiba ingat suasana rumah di Bandung saat pagi hari, dan pilu karena saya tahu saya akan rindu suasana depan rumah ini suatu saat nanti. Hahaha galau nian pagi-pagi.

Btw, naha urang teh asa teu konsisten kadang aku kadang saya..hahaha..yasudahlah mana-mana saja..hahaha

Intinya pagi ini saya bangun dengan semangat baru, karena saya tahu saya tidak usah (tidak bisa.red) mandi muaahahahaha….

Pagi ini rasanya tidak ingin saya lalui dengan cepat…ingin rasanya pagi terus di doro le’de…

Tapi waktu terus berjalan, matahari semakin giat menyapa bumi tambora. Saatnya saya beranjak dari peraduan manja gubuk kayu…di kejauhan anak-anak sudah datang memanggil dari atas pohon singgapura (mun ceuk urang sunda mah pohon kersen). Berlari turun menjemput ibu gurunya, membawa buah singgapura dalam balik baju seragamnya, dan mempersembahkannya untuk saya :D…haaaa…rasanya seperti raja hutan yang baru menerima sesembahan dari warga hutan (halah). Sambil senyum-senyum senang, saya melompat dari gubuk kayu tersebut berteriak…let’s go!!!!. Saatnya berangkat sekolah, ini hari jumat, saatnya olah raga pagi…

Oyah, maap kalo judulnya bikin anda semua mual-mual dan mencret berkala, bukan maksud apa-apa..saya hanya mencoba lebih jujur ada diri sendiri (jyaaah makin pengen di tabok ini yang punya blog).

Sampai berjumpa di kisah berikutnya/

Labuan Kananga, 5 Oktober 2012

Catatan ini dibuat pas  ulang tahunnya ICHAL OCTORISA RAMADHANI, murid  kelas 1 SDN 1 Labuan Kananga, yang imut dan pandai sekali, pipinya ngegemesin pengen, rambutnya ikal, adiknya  bernama RAMA, ibunya pegawai UPT Tambora dan ayahnya satpol PP — penting yaaaa….

renungan malam jumat

Hujan besar kemarin malam, membuat sendu suasana pagi ini. Kesenduan pagi ini telah berhasil melambungkan memori ku pada sebuah suasana pagi di sebuah tempat yang aku rindukan, Bandung. Bau tanah basah yang tersiram hujan deras semalam, cuaca dingin lembab yang terasa pada dinding-dinding kayu rumah terasa menusuk kulit, kokok ayam jantan bersahutan dari kejauhan, aroma pagi yang selama ini aku selalu rindukan, aroma pagi di Bandung. Suasana sendu malah membuat ku semakin bersemangat untuk menikmati hari itu.

Hari ini nampak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, wajah Labuan Kananga, desa yang sudah hampir empat bulan aku tempati mendadak sendu. Sendu karena basah, basah karena hujan, hujan karena musim barat sudah datang. Dulu saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini hampir semua orang ramai menceritakan tentang musim barat. Sebuah musim di akhir bulan yang akan membawa kehebohan tersendiri di kampungku. Musim barat bagi desa Labuan Kananga berarti bersiap akan datangnya banjir. Hujan lebat sederas tadi malam akan terus datang, hujan akan membasahi tanah-tanah pasir di desaku, angin akan menggoyangkan pohon-pohon nyiur di pinggir pantai, matahari yang malu-malu muncul akan membuat warga desa semakin enggan keluar rumah, dan suasana desa akan semakin sendu. Namun entah mengapa kesenduan ini menyibakkan sebuah semangat dalam jiwa ini. Sebuah semangat baru untuk terus berjuang menjalani tugasku sebagai seorang penyampai ilmu, seorang guru muda yang belajar memahami makna sebuah hidup. Aku punya waktu satu tahun untuk menggali makna kehidupan disini, satu tahun, tidak bisa lebih dan tidak boleh kurang. Menjadi seorang guru muda di sebuah desa nun jauh dari ibu kota negara ini, desa Labuan Kananga, kecamatan Tambora, kabupaten Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat. Bagaimana kisahnya aku bisa “terdampar” disini kisah yang cukup berliku, akan diceritakan di aku ceritakan di kemudian hari.

Kembali pada kesenuduan wajah desa Labuan Kananga di kamis pagi. Kamis merupakan waktu yang istimewa untukku, karena hari kamis adalah waktunya aku mengajar di kelas jauh, di kelas gunung aku menyebutnya, karena memang letaknya di lembah gunung Tambora. Hari kamis adalah hari yang selalu kunantikan karena ketika aku mengajar di kelas gunung, aku juga akan menginap selama satu malam disana. Desa kelas gunung ini sering disebut orang sebagai Doro Le’de, Doro berarti gunung dan Le’de merupakan sebuah jenis makanan yang katanya dulu banyak tumbuh disini, sejenis gandum berwarna putih dan rasanya seperti kentang. Doro Le’de memiliki tempat yang istimewa di hatiku, suasana kampung gunung yang sepi, berbeda dengan desa Labuan Kananga yang cukup ramai, juga masyarakat desanya yang mayoritas orang Lombok selalu membuat hati ini menjadi tentram akan sapaan dan gurauan mereka, walau kadang aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan fasih dengan bahasa Sasak mereka. Selain itu, banyaknya keterbatasan di doro le’de membuat aku semakin mendalami arti dari sebuah kehidupan dan penghidupan. Untuk mencapai ke doro le’de dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dari Labuan Kananga, menggunakan motor, melewati jalan-jalan keci di antara kebun, hutan dan juga jurang, mendaki hingga sampai di pemukiman warga. Di dusun kecil ini, listrik belum mengalir, sehingga malam akan terasa sangat syahdu, air didapat dari pipa-pipa yang diambil langsung dari gunung, sehingga wajar saja ketika pipa mampet, maka selama berhari-hari warga disini tidak akan mandi, kecuai kalau pergi ke sungai. Deretan pohon jambu mete akan siap menyapa siapapun yang hadir di dusun ini, ditambah aromanya yang kecut-kecut manis, satu lagi hal paling menarik dari dusun ini adalah ketiadaan wc tertutup, sehingga bila ingin buang air besar alias double E, aku harus mencari tempat pertapaan di antara semak-semak dan rimbunnya pohon Continue reading “renungan malam jumat”